
pchotdeals.com, 08 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Ikan cobia (Rachycentron canadum), yang dikenal di Indonesia sebagai ikan lemadang atau gabus laut, adalah spesies ikan laut pelagis yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan potensi besar dalam industri perikanan budidaya. Dengan pertumbuhan yang cepat, ketahanan terhadap penyakit, dan kualitas daging yang unggul, cobia telah menjadi primadona baru di sektor perikanan budidaya Indonesia. Artikel ini menyajikan ulasan mendalam, akurat, dan terpercaya tentang proses pembibitan hingga produksi ikan cobia, mencakup aspek biologi, teknologi budidaya, tantangan, dan peluang ekonomi, berdasarkan informasi dari sumber-sumber resmi seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia, Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, dan literatur terkait per Juni 2025.
Biologi dan Karakteristik Ikan Cobia
Ikan cobia (Rachycentron canadum) adalah spesies ikan laut karnivor yang hidup di perairan tropis dan subtropis, ditemukan di Samudera Atlantik, Pasifik, dan Indo-Pasifik, termasuk perairan Indonesia seperti Teluk Lampung dan barat laut Bali. Sekilas, cobia menyerupai ikan hiu kecil karena tubuhnya yang berbentuk torpedo, dengan kepala dan mulut lebar. Namun, ukurannya lebih kecil, dengan panjang maksimal mencapai 1,8 meter dan berat hingga 45 kg di alam liar, serta umur hingga 10 tahun. Cobia memiliki daging putih yang padat, berlemak, dan kaya akan asam lemak omega-3, EPA, dan DHA, menjadikannya setara dengan ikan salmon untuk olahan seperti sashimi dan sushi.
Keunggulan biologis cobia untuk budidaya meliputi:
-
Pertumbuhan Cepat: Dalam budidaya, cobia dapat mencapai berat 4–6 kg dalam setahun, atau 3 kg dalam 9 bulan, lebih cepat dibandingkan ikan laut lain seperti kerapu.
-
Ketahanan terhadap Penyakit: Cobia relatif tahan terhadap penyakit, meskipun rentan terhadap parasit seperti cacing pada insang dan kulit.
-
Adaptabilitas: Cobia mudah beradaptasi di lingkungan budidaya, dapat diberi pakan pelet atau ikan rucah, dan cocok untuk sistem keramba jaring apung (KJA).
-
Nilai Ekonomi Tinggi: Harga jual cobia budidaya berkisar antara Rp 45.000–60.000 per kg, jauh lebih tinggi dibandingkan cobia tangkapan liar (Rp 25.000 per kg) yang sering berbau amis dan memiliki daging cokelat.
Proses Pembibitan Ikan Cobia
Pembibitan ikan cobia melibatkan beberapa tahapan, mulai dari pemeliharaan induk, pemijahan, pembenihan, hingga produksi benih yang siap untuk pembesaran. Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung telah menjadi pelopor dalam pengembangan teknologi pembibitan cobia di Indonesia sejak 2003, dengan keberhasilan pemijahan massal sejak 2007.
1. Pemeliharaan Induk
Induk cobia biasanya diperoleh dari perairan liar, seperti perairan Teluk Lampung, dan diseleksi untuk memastikan kualitas genetik yang unggul. Kriteria induk meliputi kesehatan fisik, ukuran (biasanya 10–20 kg), dan produktivitas telur. Induk dipelihara di bak atau keramba jaring apung dengan kondisi air yang terkontrol, termasuk suhu (26–30°C), salinitas (28–34 ppt), dan oksigen terlarut (>5 mg/L). Pakan yang diberikan berupa ikan rucah berkualitas tinggi atau pelet kaya protein untuk mendukung produksi telur.
2. Pemijahan
Pemijahan cobia dapat dilakukan secara alami atau dengan rangsangan hormon:
-
Pemijahan Alami: Sejak 2017, BBPBL Lampung berhasil memijahkan cobia secara alami dengan menurunkan permukaan air hingga 80% untuk meningkatkan suhu air, merangsang ikan untuk memijah. Proses ini memungkinkan pemijahan sepanjang tahun, dengan satu induk produktif dapat menghasilkan hingga 1 juta butir telur per siklus.
-
Pemijahan dengan Hormon: Pada tahap awal (2007), BBPBL menggunakan hormon seperti HCG (Human Chorionic Gonadotropin) untuk merangsang ovulasi, terutama pada induk yang belum siap memijah secara alami. Teknik ini kini jarang digunakan karena pemijahan alami lebih efisien.
Telur yang dihasilkan dikumpulkan dan dipindahkan ke bak penetasan (hatchery) dalam ruangan (indoor) untuk mengontrol kualitas air dan mencegah kontaminasi.
3. Pembenihan
Tahap pembenihan melibatkan penetasan telur dan pemeliharaan larva hingga menjadi benih:
-
Penetasan Telur: Telur cobia menetas dalam 24–36 jam pada suhu 26–28°C. Larva yang baru menetas sangat sensitif, sehingga memerlukan lingkungan dengan kualitas air optimal dan pakan mikro seperti rotifer dan copepod.
-
Pemeliharaan Larva: Larva dipelihara di bak hatchery selama 20–40 hari. Pada usia 20 hari, benih mencapai panjang 3–4 cm, dan pada usia 40 hari, benih berukuran sekitar 10 cm, siap dipindahkan ke KJA untuk pembesaran. Tingkat kelangsungan hidup (survival rate, SR) pada tahap ini sekitar 10%, lebih tinggi dibandingkan kerapu (7%).
-
Produksi Benih: BBPBL Lampung menghasilkan 6.000–7.000 benih per siklus (2–3 bulan), dengan total produksi tahunan sekitar 36.000 benih. Benih ini didistribusikan ke pembudidaya di berbagai daerah, seperti Lampung dan Pangandaran.
4. Pendampingan Pembenihan
BBPBL Lampung tidak hanya menyediakan benih, tetapi juga memberikan pendampingan teknis kepada pembudidaya melalui monitoring KJA, konsultasi via video call, dan rekomendasi lokasi budidaya untuk menghindari ancaman seperti red tide (blooming alga merah), yang dapat menyebabkan kematian massal karena menyumbat insang ikan.
Proses Produksi (Pembesaran) Ikan Cobia
Setelah benih berukuran 10 cm, tahap pembesaran dilakukan di keramba jaring apung (KJA) di laut, seperti di Teluk Hurun (Lampung) atau Pantai Timur Pangandaran. Proses ini mencakup pendederan, penggelondongan, dan pembesaran hingga ikan mencapai ukuran konsumsi.
1. Sistem Budidaya
-
Keramba Jaring Apung (KJA): KJA berbahan HDPE (High-Density Polyethylene) seperti merek Aquatec digunakan untuk memastikan ketahanan terhadap gelombang laut dan umur teknis hingga 25 tahun. Jaring tanpa simpul (knotless) mencegah luka pada ikan akibat gesekan. Setiap unit KJA biasanya memiliki 4 petak, masing-masing menampung 1.000 benih.
-
Kepadatan Tebar: Kepadatan tebar sekitar 10–15 ekor/m³ untuk memastikan pertumbuhan optimal dan mengurangi stres.
-
Lokasi: Perairan dengan arus sedang, salinitas stabil, dan minim risiko red tide dipilih, seperti Teluk Lampung atau Pantai Pangandaran. BBPBL memberikan rekomendasi lokasi untuk menghindari area rawan red tide.
2. Pakan dan Pemeliharaan
-
Jenis Pakan: Cobia diberi pakan kombinasi pelet protein tinggi (40–45% protein) dan ikan rucah (misalnya sarden atau teri) untuk menekan biaya produksi. Namun, belum adanya pakan khusus untuk cobia di pasaran menjadi kendala.
-
Frekuensi Pemberian Pakan: Pakan diberikan 2–3 kali sehari, disesuaikan dengan nafsu makan ikan yang rakus.
-
Pemeliharaan Kesehatan: Cobia rentan terhadap parasit cacing pada insang dan kulit, yang dapat diatasi dengan perendaman air tawar sebulan sekali atau penggunaan formalin untuk pencegahan. Infeksi bakteri atau virus jarang terjadi, tetapi memerlukan monitoring rutin.
3. Periode Pembesaran
-
Durasi: Pembesaran memakan waktu 5–12 bulan, tergantung pada target ukuran. Dalam 5 bulan, ikan dapat mencapai berat 3 kg, dan dalam 12 bulan, berat bisa mencapai 4–6 kg per ekor.
-
Pertumbuhan: Benih dengan bobot awal 200–300 gram dapat mencapai 1–2 kg dalam setahun, atau 3–4 ekor/kg dalam 6 bulan.
-
Tingkat Kelangsungan Hidup: Dengan manajemen yang baik, tingkat kelangsungan hidup di KJA mencapai 80–90%.
4. Panen
Ikan cobia siap panen ketika mencapai berat 3–6 kg, yang biasanya dicapai dalam 5–9 bulan. Panen dilakukan dengan hati-hati untuk menjaga kualitas daging, terutama untuk pasar sashimi yang membutuhkan ikan segar tanpa stres. Ikan dipanen menggunakan jaring khusus dan segera disimpan dalam wadah berpendingin untuk menjaga tekstur daging.
Analisis Ekonomi dan Pasar
Budidaya cobia memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan:
-
Harga Jual: Harga cobia budidaya berkisar Rp 45.000–60.000 per kg, menghasilkan omzet hingga Rp 2,4 juta per KJA per tahun (dengan asumsi 40 ekor/kg).
-
Biaya Produksi: Biaya produksi rata-rata Rp 39.150 per kg, dengan benefit-cost ratio (B/C ratio) sebesar 1,15 dan break-even point pada 1.135 kg.
-
Pasar: Cobia memiliki pasar domestik dan ekspor yang luas, termasuk Hong Kong, Taiwan, Jepang, Korea, Australia, dan Eropa. Daging cobia digunakan untuk ikan segar, beku, fillet, tepung ikan, minyak ikan, dan kosmetik.
-
Peluang Ekspor: Indonesia memiliki peluang untuk mendominasi pasar ekspor cobia, mengingat pasokan terbatas di alam liar dan permintaan global yang meningkat.
-
Industri Pengolahan: Hasil panen dapat dijual ke industri pengolahan untuk produk olahan seperti sushi, sashimi, atau makanan kaleng.
Tantangan dalam Budidaya Cobia
Meskipun menjanjikan, budidaya cobia menghadapi beberapa tantangan:
-
Red Tide: Blooming alga merah (red tide) dapat menyumbat insang ikan, menyebabkan kematian massal. Pencegahan melibatkan pemilihan lokasi budidaya yang tepat dan monitoring rutin.
-
Ketersediaan Pakan: Belum adanya pakan khusus untuk cobia meningkatkan ketergantungan pada ikan rucah, yang harganya fluktuatif.
-
Parasit: Cacing pada insang dan kulit dapat menurunkan daya tahan ikan, memerlukan perawatan rutin seperti perendaman air tawar.
-
Skala Budidaya: Budidaya cobia belum sepopuler ikan kerapu atau kakap, sehingga diperlukan sosialisasi lebih lanjut kepada pembudidaya.
-
Modal Awal: Investasi untuk KJA berkualitas tinggi dan benih unggul relatif besar, meskipun potensi keuntungan cukup menjanjikan.
Dukungan Pemerintah dan BBPBL Lampung
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan cobia sebagai komoditas unggulan baru sejak peluncurannya pada Aquatica Asia dan Indoaqua 2019 oleh Menteri Edhy Prabowo. BBPBL Lampung memainkan peran kunci dalam:
-
Produksi Benih: Menyediakan benih unggul untuk pembudidaya di berbagai daerah.
-
Pendampingan Teknis: Memberikan pelatihan, monitoring KJA, dan rekomendasi lokasi budidaya.
-
Sertifikasi: Menerapkan standar Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) dan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) untuk memastikan keberlanjutan dan kualitas produk.
-
Pemasaran: Membantu pembudidaya memasarkan hasil panen ke pasar domestik dan ekspor, termasuk ke Taiwan, Jepang, dan Korea.
Program budidaya di Pangandaran, misalnya, telah berhasil mengekspor 5–10 ton cobia per pengiriman ke tiga negara, menunjukkan potensi ekonomi yang signifikan.
Dampak Lingkungan dan Keberlanjutan
Budidaya cobia memiliki dampak positif terhadap lingkungan karena mengurangi eksploitasi cobia liar, yang memiliki tingkat trofik tinggi dan populasi terbatas di alam. Penggunaan KJA berbahan HDPE yang ramah lingkungan dan penerapan standar CBIB mendukung keberlanjutan. Namun, pengelolaan limbah pakan dan pencegahan red tide tetap menjadi fokus untuk meminimalkan dampak lingkungan.
Kesimpulan
Budidaya ikan cobia (Rachycentron canadum) menawarkan peluang besar bagi pembudidaya di Indonesia, didukung oleh pertumbuhan cepat, ketahanan terhadap penyakit, dan permintaan pasar yang tinggi. Proses pembibitan hingga produksi melibatkan tahapan pemeliharaan induk, pemijahan, pembenihan, dan pembesaran di KJA, dengan dukungan teknologi dari BBPBL Lampung. Meskipun menghadapi tantangan seperti red tide dan keterbatasan pakan khusus, cobia memiliki potensi ekonomi yang signifikan, dengan harga jual Rp 45.000–60.000 per kg dan pasar ekspor yang luas. Dengan dukungan KKP dan pendampingan teknis, budidaya cobia dapat menjadi salah satu pilar utama sektor perikanan budidaya Indonesia, mendukung perekonomian lokal dan keberlanjutan lingkungan. Upaya sosialisasi dan investasi lebih lanjut diperlukan untuk mempopulerkan komoditas ini di kalangan pembudidaya.
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (kkp.go.id), BBPBL Lampung, Minapoli.com, Trobosaqua.com, Samudranesia.id, Kompas.com, Sindonews.com, Pertanianku.com, Academia.edu
BACA JUGA: Masalah Sosial di Indonesia pada Tahun 1900-an: Dampak Kolonialisme dan Kebangkitan Kesadaran Sosial
BACA JUGA: Perkembangan Teknologi Militer Portugal: Dari Era Penjelajahan hingga Abad Modern