
pchotdeals.com, 02 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares), dikenal juga sebagai yellowfin tuna, adalah salah satu komoditas perikanan paling bernilai ekonomis di dunia. Dengan permintaan global yang tinggi, terutama dari pasar Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa, tuna sirip kuning menjadi target utama penangkapan dan budidaya. Namun, intensifikasi penangkapan telah menyebabkan penurunan populasi di alam, mendorong pengembangan teknologi pembibitan dan budidaya untuk mendukung produksi yang berkelanjutan. Di Indonesia, Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) Gondol, Bali, telah mempelopori upaya ini sejak 2003 melalui kerja sama dengan Overseas Fishery Cooperation Foundation (OFCF) Jepang. Artikel ini menyajikan penjelasan mendetail, akurat, dan terpercaya tentang proses pembibitan hingga produksi ikan tuna sirip kuning, berdasarkan sumber-sumber seperti ResearchGate, ejournal-balitbang.kkp.go.id, Republika, dan Unair News, serta laporan resmi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
1. Latar Belakang Ikan Tuna Sirip Kuning
Tuna sirip kuning adalah ikan pelagis besar dari keluarga Scombridae, dikenal karena kecepatan renangnya yang mencapai 77–80 km/jam dan tubuh berbentuk torpedo (fusiform). Ikan ini memiliki daging berwarna merah muda hingga merah tua karena kandungan myoglobin yang tinggi, menjadikannya pilihan utama untuk sashimi dan produk olahan lainnya. Tuna sirip kuning tersebar luas di perairan tropis dan subtropis, termasuk Samudra Hindia, Pasifik, dan Atlantik. Di Indonesia, ikan ini banyak ditemukan di perairan selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Laut Flores, Laut Banda, Laut Sulawesi, dan utara Papua, dengan potensi terbesar di Laut Flores dan Selat Makassar (luas area penangkapan sekitar 605.000 km²).
Secara biologis, tuna sirip kuning mencapai kematangan gonad pada panjang 91–100 cm atau berat 14–20 kg, dengan perkiraan umur 1,3–2,8 tahun. Di lingkungan budidaya, ikan ini dapat memijah pada berat 20 kg. Pemijahan alami terjadi sepanjang tahun di perairan khatulistiwa (10° LU–15° LU, 120° BT–180° BT) pada suhu air di atas 23,3°C, dengan puncak pemijahan di Samudra Pasifik antara Juli dan November. Telur yang dihasilkan berdiameter 950–1.000 mikron, dengan waktu inkubasi 18–28 jam tergantung suhu air.
2. Proses Pembibitan Ikan Tuna Sirip Kuning 
Pembibitan (hatchery) ikan tuna sirip kuning adalah langkah awal dalam produksi budidaya, yang mencakup penangkapan calon induk, pemeliharaan induk, pemijahan, penetasan telur, dan pendederan larva hingga menjadi benih (juvenile). Proses ini kompleks karena tuna sirip kuning adalah ikan pelagis yang membutuhkan kondisi lingkungan spesifik dan perawatan intensif.
2.1. Penangkapan dan Transportasi Calon Induk
Calon induk tuna sirip kuning biasanya ditangkap dari perairan lepas, seperti perairan Bali Utara, oleh nelayan lokal menggunakan alat tangkap seperti pole and line, hand line, long line, atau purse seine. Ikan yang dipilih memiliki berat awal 2–5 kg untuk memastikan kelangsungan hidup selama transportasi.
Transportasi dilakukan menggunakan bak fiberglass oval bervolume 1 m³, yang hanya mampu mengangkut 2–3 ekor ikan berukuran 2 kg atau 1 ekor ikan berukuran 3–5 kg per perjalanan. Untuk mengurangi stres dan luka, air dalam bak ditambahkan erubazu (antibakteri) dengan dosis 50–100 mg/L sejak 2010. Setelah tiba di fasilitas budidaya, ikan ditempatkan dalam bak pengobatan selama 24 jam untuk observasi kesehatan dan pengobatan luka akibat penangkapan atau transportasi.
2.2. Pemeliharaan Induk
Induk tuna sirip kuning dipelihara dalam dua jenis wadah utama: bak beton (land-based tank) dan keramba jaring apung (floating net cage).
-
Bak Beton: BBRPBL Gondol menggunakan bak beton bervolume 1.500 m³ dengan sistem pergantian air semi-tertutup. Induk berukuran di atas 30 kg (diasumsikan sudah matang gonad) dipelihara dengan pakan berupa ikan layang (Decapterus spp.) dan cumi-cumi (Loligo spp.) sebanyak 2,5% dari biomassa per hari, diberikan dua kali sehari (pagi dan sore). Kualitas air dijaga pada suhu 27–28°C, salinitas 32–35 ppt, dan oksigen terlarut 5–7 ppm untuk mencegah kematian.
-
Keramba Jaring Apung (KJA): KJA ditempatkan di perairan lepas pantai, seperti di Gondol, Bali. Sebanyak 100 ekor induk dengan berat 15–30 kg dipelihara sejak 2014. Pakan yang diberikan adalah ikan layang dan cumi-cumi dengan rasio 2:1, sebanyak 8–15% biomassa, diberikan dua kali sehari. Pengamatan rutin dilakukan terhadap tingkah laku induk, pemijahan, dan parameter air seperti suhu, oksigen, dan salinitas.
2.3. Pemijahan
Pemijahan tuna sirip kuning dapat terjadi secara alami atau dengan induksi hormon.
-
Pemijahan Alami: Di bak beton, pemijahan alami pertama kali berhasil pada Oktober 2004, dengan induk berbobot lebih dari 9,138 kg atau panjang cagak lebih dari 82 cm (umur sekitar 2 tahun). Di KJA, pemijahan pertama terjadi pada 2015, dengan frekuensi hampir setiap malam, menghasilkan 30.000–3.600.000 telur per sesi. Daya tetas telur berkisar antara 26%–96%, dengan survival activity index (SAI) larva tanpa pakan antara 0,1–3,8.
-
Pemijahan dengan Induksi Hormon: Untuk induk yang belum memijah meskipun telah matang gonad (berat di atas 30 kg), implantasi hormon GnRHa terbukti efektif memacu pemijahan. Teknik ini meningkatkan keberhasilan produksi telur di lingkungan terkendali.
Telur yang dihasilkan dikumpulkan menggunakan kolektor telur dan diinkubasi dalam bak penetasan bervolume 200 L, dilengkapi aerasi dan sistem pergantian air kontinu. Waktu penetasan adalah 18 jam 55 menit pada suhu 27–28°C, dengan salinitas ideal 33–35 ppt.
2.4. Pendederan Larva
Pendederan adalah tahap kritis karena larva tuna sirip kuning rentan terhadap kematian akibat kanibalisme, tabrakan dengan dinding wadah, atau kondisi lingkungan yang tidak optimal. Larva dipelihara dalam bak fiberglass berdiameter 2,7 m dan tinggi 1 m (volume 5 m³), dengan kepadatan 50 ekor per bak. Pakan yang diberikan adalah benih bandeng (Chanos chanos) yang dimatikan, ikan teri (Stolephorus spp.), dan ikan cincang (minced fish), dengan frekuensi pemberian 6 kali sehari hingga kenyang (ad libitum).
Penelitian di BBRPBL Gondol menguji dua sistem pemeliharaan: indoor dan outdoor. Hasilnya menunjukkan bahwa sistem indoor memberikan sintasan lebih tinggi karena kondisi lingkungan lebih terkendali. Pemberian pakan larva tuna yang baru menetas pada umur 7 hari menghasilkan pertumbuhan dan sintasan lebih baik dibandingkan pemberian pada umur 9 atau 11 hari, meskipun perbedaan tidak signifikan secara statistik. Setelah 21 hari, larva mencapai panjang total 29,82 ± 2,51 mm dan mulai berkembang menjadi juvenil.
3. Proses Produksi Ikan Tuna Sirip Kuning
Setelah tahap pembibitan, produksi tuna sirip kuning melibatkan pembesaran (grow-out) hingga mencapai ukuran pasar (biasanya 25–80 kg) dan pengolahan untuk pasar domestik atau ekspor. Proses ini dilakukan di KJA atau bak beton, dengan fokus pada pertumbuhan, manajemen pakan, dan pengendalian lingkungan.
3.1. Pembesaran
-
Di Keramba Jaring Apung: Calon induk dengan berat awal kurang dari 1 kg dapat mencapai 5 kg dalam 5 bulan dengan pakan cumi-cumi dan ikan layang. Untuk mencapai ukuran pasar (25–80 kg), diperlukan waktu 2–3 tahun. Di KJA, tuna sirip kuning menunjukkan pertumbuhan pesat, dengan bobot meningkat dari 4 kg menjadi 80 kg dalam 2 tahun di lingkungan laut terbuka.
-
Di Bak Beton: Pertumbuhan di bak beton lebih lambat karena ikan kurang bergerak, menyebabkan peningkatan kandungan lemak dari 0,1–0,5% menjadi 10–20% dalam 2 bulan. Meskipun demikian, bak beton memungkinkan kontrol lingkungan yang lebih ketat, mengurangi risiko penyakit dan predator.
Pakan merupakan faktor kunci dalam pembesaran. Ikan rucah seperti tembang (Sardinella spp.), teri, ekor kuning (Caesio spp.), selar (Selaroides spp.), dan kembung (Rastrelliger spp.) diberikan sebanyak 8–15% biomassa, dua kali sehari. Kualitas air dijaga pada suhu 17–31°C, salinitas 32–35 ppt, dan oksigen terlarut 5–7 ppm untuk mendukung pertumbuhan optimal.
3.2. Panen dan Pengolahan
Tuna sirip kuning dipanen ketika mencapai berat ekonomis, biasanya 25 kg atau lebih, tergantung permintaan pasar. Di Indonesia, ikan ini dipasarkan dalam bentuk segar, beku, atau dikalengkan. Untuk ekspor, tuna diproses sesuai standar Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) dan dilengkapi Health Certificate serta Catch Certificate untuk memastikan bebas dari aktivitas Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) periode Januari–Juli 2021 menunjukkan Indonesia mengekspor 1,2 juta ton tuna sirip kuning senilai USD 4,8 juta, dengan pasar utama Jepang (95,09%), Amerika Serikat (1,85%), Vietnam (1,55%), Australia (0,47%), dan Singapura (0,44%). Di pasar lokal, harga tuna sirip kuning mencapai Rp40.000/kg, sementara untuk ekspor bisa mencapai Rp1,2 juta/kg untuk kualitas premium.
3.3. Pemanfaatan Limbah
Limbah kulit tuna sirip kuning dari industri pengolahan, seperti di PT. YPT Banda Aceh, dimanfaatkan untuk menghasilkan pupuk organik cair (POC) melalui fermentasi tradisional dengan penambahan molase (2% atau 4%). Kulit ikan juga dapat diekstraksi menjadi gelatin menggunakan pelarut HCl (1–3%) atau kolagen dengan enzim pepsin dan papain, meningkatkan nilai tambah produk sampingan.
4. Tantangan dalam Pembibitan dan Produksi 
Meskipun telah mencapai kemajuan signifikan, budidaya tuna sirip kuning menghadapi sejumlah tantangan:
-
Kematian Larva: Larva tuna rentan mati akibat kanibalisme, tabrakan dengan dinding wadah, atau kondisi lingkungan yang tidak optimal. Penelitian menunjukkan sintasan larva sering kali rendah setelah umur 15 hari.
-
Ketergantungan pada Tangkapan Alam: Sebagian besar calon induk masih bergantung pada penangkapan di laut, yang meningkatkan tekanan pada populasi alami dan memerlukan teknik penangkapan yang selektif.
-
Biaya Operasional Tinggi: Pembesaran tuna membutuhkan pakan berkualitas tinggi (ikan layang, cumi-cumi) dan infrastruktur seperti KJA atau bak beton, yang memakan biaya besar.
-
Kualitas Air dan Penyakit: Fluktuasi suhu, salinitas, atau oksigen terlarut dapat menyebabkan stres atau kematian ikan. Infeksi bakteri selama transportasi atau pemeliharaan juga menjadi ancaman.
-
Keterbatasan Teknologi: Meskipun Indonesia telah berhasil memijahkan tuna sirip kuning, teknologi pembenihan skala komersial masih dalam tahap pengembangan, terutama untuk produksi benih massal.
5. Prospek dan Strategi Masa Depan 
Budidaya tuna sirip kuning memiliki prospek cerah di Indonesia, didukung oleh melimpahnya sumber daya laut dan posisi strategis di antara Samudra Hindia dan Pasifik. KKP telah menetapkan strategi untuk meningkatkan produksi melalui:
-
Peningkatan Teknologi Pembenihan: Investasi dalam riset untuk meningkatkan sintasan larva dan efisiensi pemijahan, termasuk pengembangan pakan buatan untuk mengurangi ketergantungan pada ikan rucah.
-
Ekonomi Biru: Menerapkan prinsip penangkapan terukur dan budidaya berkelanjutan untuk menjaga ekosistem laut, seperti melindungi daerah pemijahan di Laut Banda.
-
Pemberdayaan Masyarakat: Melibatkan nelayan lokal, seperti di Desa Penyabangan, Buleleng, Bali, dalam budidaya KJA untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
-
Ekspansi Pasar Ekspor: Memperluas pasar ke Vietnam dan Thailand, seperti ekspor 27 ton tuna sirip kuning oleh PT. Harta Lautan Indonesia pada 2021, serta memperkuat sertifikasi mutu untuk memenuhi standar internasional.
6. Kesimpulan 
Pembibitan hingga produksi ikan tuna sirip kuning adalah proses kompleks yang melibatkan penangkapan calon induk, pemeliharaan di bak beton atau KJA, pemijahan alami atau terinduksi, pendederan larva, dan pembesaran hingga panen. Indonesia, melalui BBRPBL Gondol, telah mencapai tonggak penting dengan keberhasilan pemijahan sejak 2004 dan budidaya di KJA sejak 2015. Namun, tantangan seperti kematian larva, biaya tinggi, dan ketergantungan pada tangkapan alam perlu diatasi untuk mencapai produksi skala komersial yang berkelanjutan. Dengan strategi yang tepat, budidaya tuna sirip kuning dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen tuna terbesar dunia, yang menyumbang 18% produksi global (sekitar 8,3 juta ton per tahun), sekaligus mendukung kesejahteraan masyarakat dan pelestarian sumber daya laut.
BACA JUGA: Seni dan Tradisi Negara Palau: Warisan Budaya Mikronesia yang Kaya
BACA JUGA: Letak Geografis dan Fisik Alami Negara Seychelles
BACA JUGA: Kampanye Publik: Strategi, Implementasi, dan Dampak dalam Mendorong Perubahan Sosial